“analoginya seperti ini….“, aku menarik nafas panjang.
“hallo?”
“Ya, aku dengerin kamu kok”
“Gini, ibarat ada seseorang yang akan meletakkan permata yang begitu berharga di telapak tanganmu. Kamu sangat-sangat menginginkan permata itu terkepal erat di tanganmu untuk selamanya. Ingin memilikinya. Tapi karena suatu alasan yang tidak bisa diperdebatkan kamu tahu bahwa kamu tidak bisa mengepalkan jari-jemarimu untuk memilikinya”
Aku diam sesaat.
” Jadi aku memilih untuk mengepalkannya sementara saja dan kemudian membiarkan permata itu diambil lagi dari telapak tanganku. Aku hanya ingin merasakan perasaan indah ketika telapak tangan terkepal dan menggegam permata itu dengan erat, walau hanya sesaat”
Aku diam…
“Seperti itu?” tanyanya.
“Ya seperti itu“. sahutku.
***
Jujur saja, aku juga bingung darimana aku mendapat analogi seperti itu. Melintas begitu saja dalam kepalaku. Tapi ya itu yang aku rasakan.
Aku hanya ingin merasakan perasaan indah itu, walau hanya sesaat. Bukan sebelumnya tak indah, tapi hanya aku belum menggegamnya erat. Ketika aku sudah menggegam erat dan permata itu diambil lagi dari telapak tanganku dan perasaan indah itu lenyap dan berganti dengan sedih, aku menerima konsekuensinya. Tapi kenangan akan perasaan indah itu tak akan tergantikan.
Seperti sekeping mata uang, selalu ada sedih, selalu ada senang. Kita tak bisa memilih salah satunya, kita harus menerima keduanya. Satu keping selalu dua sisi…. bukan begitu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar