Kecewa jangan diratapi berlarut-larut, tetapi kecewa hanya untuk sekejap lalu bangkit lagi. Jangan sering-sering kecewa ya ...
Kecewa, senang, sedih, bahagia, selalu terjadi silih berganti dalam hidup ini. Sebagai manusia tentu saja kita inginnya selalu senang dan bahagia, kalau bisa tidak lagi ada rasa kecewa dan sedih. Semua hal tersebut membuat hidup kita menjadi beraroma dan memberi aneka rasa. Dalam memilih makanan pun kita tidak memilih yang tawar, tetapi ada yang manis, asin, gurih, dan lain sebagainya; tidak terus menerus satu rasa, tetapi kita pun ingin mencoba makanan dengan rasa lainnya.
Kecewa pasti kita alami dan tidak dapat kita hindari; yang perlu kita lakukan adalah bagaimana memanage kekecewaan agar memberikan manfaat, atau minimal tidak memberikan dampak negatif pada diri kita. Kekecewaan yang kita alami, membuat kita menjadi memiliki empati agar tidak melakukan hal yang sama pada orang lain, misalnya bila kita telah merasakan kekecewaan dikhianati teman dekat, maka kita pun sekarang memiliki empati untuk tidak menyakiti teman dekat kita sendiri.
Memang tidak menyenangkan bila kita mengalami kekecewaan, karena itu janganlah sering-sering dan berlama-lama kecewa. Bila kecewa, hiruplah kebahagiaan dan alihkan pikiran serta perasaan kita ke arah yang positif sehingga dapat menghilangkan kekecewaan tersebut. Lihatlah dampak positif dari setiap peristiwa yang kita alami, maka kita pun menjadi kebal terhadap kekecewaan.
Bukan menjadi rahasia hidup lagi bagi setiap orang yang selalu memimpikan dan mencita-citakannya sebuah kebahagian। Karena buat saya kebahagian itu menciptakan sebuah pemaknaan hidup yang luar biasa। Namun, sebelum ini apakah bahagia itu? Dan bagaimana cara mendapatkannya? Inilah hal paling sulit untuk dijawab, dibanding kita harus mempelajari satu rumusan matematika dan memperdalaminya। Buat saya adalah kebohongan besar, bila kita berbuat dan berpikir sesuatu tanpa satu rasa dorongan ingin mencapai kebahagian।
Gulungan demi gulungan terkumpul menjadi satu gulungan hidup dan gulungan itu saya sebut adalah sebuah rasa. Hidup itu tidak mungkin lepas dari yang namanya rasa. Rasa hidup itu bermacam-macam warna, bermacam-macam nuansanya dan segala hal itu berujung dengan rasa. Dan untuk membuktikannya cukup mudah, coba anda yang sedang baca tulisan sederhana ini, tidak mungkin bukan? tanpa rasa ingin tahu, apa isi yang ada dalam tulisan ini.
Rasa bahagia itu buat saya adalah hasil rekayasa perasaan yang berujung pada kepuasan dan kenikmatan. Mungkin bisa diterima bisa juga tidak? Itukan hanya menurut saya, tapi sebelumnya coba kita simak apa kata filsuf Baruch de Spinoza. Bagi Spinoza caranya meraih kebahagian seperti ini :
Kenikmatan itu bisa di capai dengan dua cara yaitu dengan men-distingsikan emosi pasif dan emosi aktif. Di bawah ini saya coba untuk merangkumnya sangat singkat dan saya co
ba semaksimal mungkin.
- Emosi pasif adalah perasaan bahagia atau kecewa secara spontan yang kita alami. Contohnya, ketika kita melihat pemandangan pegunungan maka yang ada rasa senang dan bahagia. Rasa bahagia seperti ini berasal dari penginderaan. Karena hanya indrawilah yang bisa berhubungan langsung secara spontan dan kita merasakannya. Dan ini pandangan yang dangkal.
- Emosi aktif adalah perasaan bahagia atau kecewa yang diperoleh berkat aktivasi mental atau jiwa. Contohnya, kita semualah yang berada di depan layar komputer/laptop ketika kita mampu melihat gejala dan permasalahan yang ada di Negara ini. Rasa bahagia seperti ini yang mengalami sukacitanya karena gejala dan permasalahan bisa ditemukan solusinya walaupun hanya di depan layar komputer dengan memalui tulisan, diskusi dan segala sarana yang berhubungan untuk mencari kebahagian atau solusinya.
Nah, dari ini saya akan memulai tujuan yang ingin saya sampaikan pada anda. Pengertian emosi pasif dan aktif itu saya ambil dari buku “Tuhan para filsuf dan ilmuwan” karya Simon Petrus L. Tjahjadi (Bab II hal 32) tapi buat contohnya saya coba mengkaitan dengan tujuan tulisan saya ini. Jadi harap di makluminya kalau tidak enak dibaca atau kurang pas.
Banyak sekali para seniman dan para penulis membuat hasil karya yang indah karena lahir dari rasa kec
ewa. Sebagai contoh para pecinta musik blues, pasti tahukan? berbasis apa musik blues itu muncul, yaitu akibat para budak kulit hitam yang kecewa terhadap keadaan mereka yang tertindas waktu itu, hingga menciptakan karya musik yang hebat yang bisa dinikmati banyak orang sampai sekarang ini. Ya termasuk saya ini yang suka dengan Janis Joplin. Dan kali ini saya tidak akan membahas lewat seni musik tapi dengan seni tulisan termasuk salah satu rasa kecewa saya terhadap orang yang menilai seorang penulis dengan miring.
Melihat fenomena sekarang ini, dimana kita bisa bebas beropini dan berpendapat hingga tirai penghalang begitu tipis dan mudahnya kita bisa berkarya dan bertukar pikiran melalui tulisan-tulisan yang ada. Tidak bisa di pungkiri lagi tulisan itu lahir karena rasa kecewa kita terhadap suatu hal yang kita percaya dari apa yang ingin kita sampaikan, bukan? Ada penulis yang tulisannya membahas apa itu seks? Ada penulis yang tulisannya itu selalu dengan retorika cinta? Ada penulis yang membahas kebenaran? Ada penulis yang dalam tulisannya ingin menghibur orang banyak.
Jika kita mau jujur melihat statistik karya tulisan kita ini secara holistik, maka bisa kita ambil kesimpulan bahwa penulis ingin meraih kebahagian melalui cara emosi aktif (baca : Defenisi Spinoza) karena kita kecewa terhadap hal yang kurang pas yang selama ini kita lihat sebagai gejala ma
salah pada nilai-nilai minor terhadap permasalahan yang mengarah kesatu tujuan yaitu kebahagian.
Penulis yang tulisannya membahas sekitar seks, pasti punya rasa kecewa terhadap banyak orang yang yang mengira bahwa membahas seks itu selalu tendensius terhadap hal porno, maka penulis itu merasa terpanggil dari rasa kecewanya terhadap mereka yang men
ganggap seks sebagai hal yang tabu dan selalu porno. Dan sudah pasti, penulis tersebut akan berusaha sebaik mungkin menerangkan dengan tulisan yang mengarah pada perbaikan dari segala penilaian-penilaian yang salah terhadap seks. Begitupun penulis yang membahas retorika cinta, kebenaran, politik, hiburan dan lain-lainya. Hampir
semua penulis punya tujuan yang mengajak kita untuk memperbaiki nilai-nilai pada sendi hidup yang seharus dikaji lebih dalam (baca :Revitalisasi dalam tulisan).
Kebahagian seorang penulis bisa dirasa pada setiap kata, kalimat dan paragraf pada tulisannya. Dan para penikmat pembacanya pun bisa sama-sama mendapat kebahagian. Tapi tidak lain lagi penu
lis dan pembaca sama-sama punya rasa kecewa yang harus dibayar lewat sebuah karya tulis yang
lahir karena rasa kecewa, terlebih pada penulis harus lebih punya rasa kecewa yang lebih dari pada pembaca. Jadi kecewa yang bermutu akan menciptakan satu karya yang bisa dinikmati.
Akhir dari tulisan ini saya teringat beberapa bulan yang lalu pada seorang teman yang menilai m
iring pada penulis. Dia bilang “Apa enaknya jadi penulis dibanding pengusaha ?”. Sempat lama saya berpikir bahwa ada yang janggal dari perkataanya. Namun saya coba tidak lihat sisi buruknya, mungkin maksudnya hanya perhatian seorang teman terhadap saya dengan kondisi masa depan saya. Tapi bila saya bepikir ulang dan ulang lagi, tentu saya temui kebahagian saat ini. Yaitu “Pengusaha tidak akan maju tanpa membaca buku dari seorang penulis yang punya rasa (kecewa) te
rhadap usahanya yang gagal dahulu, maka tugas para penulislah yang harus bisa berbagi sebuah karya tulis terhadap pengusaha yang lain”.
Adakah yang salah menjadi penulis? Apakah kita memang dibatasi untuk menikmati dari apa yang kit
a senangi akan sebuah tulisan? Saya kira tidak, karena satu yang berdasar buat semua orang ya
itu sama-sama mempunyai rasa ingin meraih kebahagian. Namun setiap orang itu unik dengan caranya masing-masing. Dan salah satu cara kita menggali potensi pengenalan diri bisa melal
ui tul
isan.
Pesan :
Kebahagian itu banyaknya macamnya tapi cara mendapatkanya bisa dengan dua cara yaitu emosi pasif dan aktif, tinggal mana yang sebaiknya kita gunakan. Kita bisa lihat orang akan memandang kebahagian yang hanya menggunakan cara spontan akan terlihat dangkal penilaiannya. Tapi tidak buat orang yang selalu melihat dari semua realitas yang ada yaitu penggunaan emosi aktif pada dirinya dan kebahagian
seperti ini memang lebih berarti dan tahan lama. Dan inipun salah satu jawaban saya terhadap mereka yang takut akan menulis.
~ Memang nikmat membaca itu tapi lebih nikmat lagi bila kita menulis, dan terus berkarya ~
Oleh Gw Untuk para pembaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar